Soedono Salim atau Liem Sioe Liong alias Om Liem dan Soeharto dikenal mempunyai kedekatan yang spesial. Keakraban yang bermula saat keduanya masih berada di Semarang, Jawa Tengah, pada era 1950-an ini berhasil dibina hingga berakhirnya era Orde Baru sekitar 1998.
Hal ini dijabarkan dalam buku 'How Chinese are Entrepreneurial Strategies of Ethnic Chinese Business Groups in Southeast Asia? A Multifaceted Analysis of the Salim Group of Indonesia' karya Marleen Dieleman tahun 2007.
Dalam buku ini Marleen menyebutkan, PT Bogasari menjadi yang terbesar, karena perusahaan itu mendapatkan hak monopoli untuk melakukan distribusi terigu dari PT Bulog. Hak monopoli itu membuat keuntungan PT Bogasari melonjak tajam, namun fasilitas yang diberikan Soeharto tidak gratis.
"26% Keuntungan perusahaan harus diserahkan kepada 'badan amal'. Badan amal yang dimaksud adalah Harapan Kita dan Dharma Putra," tulis Dieleman.
Selain PT Bogasari, perusahaan lain yang menunjukkan dekatnya hubungan antara Liem dan Pak Harto dapat dilihat, ketika perusahan lain milik Liem, PT Waringin dan PT Mega mendapat kemudahan. Melalui dua perusahaan ini, Om Liem yang mempunyai keahlian bisnis ditambah koneksi politik yang cukup kuat, berhasil mendapatkan hak monopoli impor cengkeh.
"Sempat disebut-sebut izin dan fasilitas kredit yang diberikan ini semata-mata karena kedekatan Liem Sioe Liong dengan Soeharto. Monopoli bisnis ini membuat perusahaan Liem membukukan pendapatan mencapai US$340.000 antara tahun 1968-1970," tulisnya.
Keberhasilan Liem dalam bisnisnya selain karena kehandalan bisnisnya juga karena kemampuannya untuk memlih partner bisnis. Seperti mengajak Sudwikatmono dalam membangun PT Bogasari, ia juga sempat menjadikan anak-anak Pak Harto, seperti Sigit Hardjojudanto, dan Siti Hardjianti Hastuti Rukmana sebagai partner bisnisnya.
"Dia mempunyai insting yang baik dalam memilih rekan bisnis. Seperti memilih Sudwikatmono, ia seorang pribumi, sepupunya Soeharto, ini tentu sangat berpengaruh terhadap bisnisnya," ungkap Dieleman.
Jaringan politik-ekonomi di ring I Soeharto inilah yang kemudian melahirkan istilah KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme. Istilah 'kroni' menjadi populer.
Masa keemasan Soeharto-Liem berakhir saat terjadi kerusuhan massa pada Mei 1998. Rumah Om Liem di Jl Gunung Sahari dibakar massa yang marah sembari meneriakinya sebagai kaki tangan Soeharto. Soeharto kemudian turun pada 21 Mei.
Kemarahan massa mendorong Om Liem pergi ke Singapura. "Bila rumah Anda telah dibakar, selanjutnya mereka akan mencoba mendapatkan orangnya," kata anak Om Liem, Anthony Salim, dalam wawancara yang langka di Singapura, seperti diberitakan New York Times edisi 16 Mei 1999.
"Anda tentunya tidak ingin tertangkap di tengah (kerusuhan) seperti itu," imbuhnya.
Di Singapura, Om Liem hidup damai. Kebangkitan bisnisnya di Indonesia ditangani oleh Anthony Salim dan kerabat lainnya.
Pada tahun 2005, Om Liem masuk daftar orang terkaya nomor 23 di Asia Tenggara dengan kekayaan 750 juta dolar AS. Media Singapura Asia One melaporkan, pada tahun itu juga dia menggelar pesta mewah 2 hari untuk merayakan ulang tahun ke-90. Pesta itu diikuti 2.000 tamu undangan berlangsung di Hotel Shangri-La Singapura. Diperkirakan pesta itu menelan ongkos sekitar 2 juta dolar.
Tag :
Tokoh
0 Komentar untuk "Hubungan Liem Sioe Liong dan Pak Harto"